Syimponi Kasih Ibu

 



Bantul, Yogyakarta dengan Palangka Raya bukan tempat yang dekat walau sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu gak sampai setengah hari. Itulah yang saya rasakan  sebagai anak bungsu dari delapan orang bersaudara yang sudah 29 tahun merantau dan punya tanggung jawab pekerjaan yang tidak bisa seenaknya ditinggalkan. Tentunya tidak setiap saat bisa ketemu dengan keluargaku terutama dengan ibuku . Gawai lah yang bisa mewakili pertemuan kami. Sesekali bila saatnya tiba bisa menengok walau hanya sebentar yang penting rasa kangen itu terobati.

Ibu tinggal di rumah bersama keluarga tepatnya di Desa Pranti, Gadingharjo, Sanden, Bantul. Tempat  yang sunyi dari kerumunan hilir mudik kendaraan , namun suasana lingkungan yang sejuk begitu terasa karena rumahnya dikelilingi pohon kelapa dan pohon-pohon yang lain. Para tetangga yang ramah sehingga susana keakraban di desa begitu terasa. Di setiap pagi terdengar gemuruh ombak dari Pantai Baru dan Pantai Cangkring yang tak jauh dari tempat tinggal ibu. Keindahan Pantai Baru dan Pantai Cangkring menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung pada saat liburan.

Hj. Sudjilah yang dilahirkan 89 yang lalu, tepatnya pada tanggal 3 Mei 1933. Seorang ibu yang kuat dan tangguh karena atas perjuangan beliau seorang diri bisa menghantarkan kami ber-enam menjadi anak yang mandiri. Sejak ayah meninggal pada tahun1982, ibu berjuang sendiri untuk membiayai kehidupan kami dan juga membiayai sekolah sampai kami lulus Perguruan Tinggi. Beruntung ayah meninggalkan beberapa petak sawah dan ladang yang cukup untuk biaya kami walau terkadang juga sangat berat beban yang dirasakan ibu. Bersyukur juga kakak perempuanku pertama juga sudah bekerja menjadi PNS jadi bisa membantu biaya sekolah adik-adiknya serta membantu mencukupi kebutuhan ibu.

Ayah meninggalkan kami pada 11 April 1982. Saat itu masih aktif sebagai seorang penghulu di Kecamatan Sanden. Hari-hari dilalui sendiri tanpa seorang ayah jelas sangat berat dirasakan ibu saat itu. Saat perekonomian keluarga sedang tidak stabil, ibu harus berjuang memutar otak sendiri demi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Intinya pengelola keuangan keluarga ada di tangan ibu.



Hj. Sudjilah yang dilahirkan 89 yang lalu, tepatnya pada tanggal 3 Mei 1933. Seorang ibu yang kuat dan tangguh karena atas perjuangan beliau seorang diri bisa menghantarkan kami putra-putrinya menjadi anak yang mandiri. Seorang ibu dengan 12 cucu dan 10 buyut yang saat itu  tinggal bersama kakak ( Sri Endaryati ) di Sewon, Bantul. Berntung kakak sudah pensiun pada tahun 2020 sehingga bisa merawat ibu, karena kebetulan kakak juga rumahnya yang paling dekat tempat tinggalnya. sedangkan saudara yang lain merantau.

Ibu biasa dijuluki simbah gaul oleh anak dan cucu-cucunya. Betapa tidak karena di umur 88 tahun tidak ketinggalan teknologi. Gawai lah pegangan sehari-hari untuk  mengaji, maupun video call anak dan cucunya. Selain itu, ibu juga bisa memanfaatkan gawai untuk membuka WhatsApp di WAG Family untuk melihat foto-foto dan kegiatan anak cucunya yang sering di share di grup Hadi Wijono family . Itulah enaknya mempunyai ibu dan simbah gaul yang bisa menggunakan teknologi.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi Tokoh Idola

How To Be The F1

Rekayasa Mengajar Pada Jam Terakhir